Langit pagi di Medan sering kali menyimpan kenangan bagiku. Kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan sekolah, suara azan Subuh yang menggema dari masjid dekat rumah, dan langkah-langkah kakiku menuju gerbang Madrasah Aliyah Negeri 3 Medan — semuanya seperti potongan kecil dari kisah panjang yang sedang kutulis. Aku, seorang siswa kelas 10 jurusan IPA, sedang belajar memahami dunia, sambil menata mimpi yang mungkin terasa terlalu tinggi bagi sebagian orang.
Aku masih ingat, suatu sore ketika aku menonton acara dokumenter di televisi tentang latihan para prajurit TNI Angkatan Darat. Di tengah panas matahari dan lumpur latihan, mereka tetap tegak dan tersenyum. Entah kenapa, hatiku bergetar waktu itu. Ada sesuatu dalam diri mereka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata — semangat, disiplin, keberanian, dan pengabdian yang tulus. Dalam diam aku berjanji pada diriku sendiri: Suatu hari nanti, aku akan menjadi bagian dari mereka.
Namun, hidup tidak pernah sesederhana keinginan. Mimpi kadang harus melewati banyak belokan sebelum sampai di tujuan.
Benih Impian yang Tumbuh di Madrasah
Madrasahku bukan hanya tempat belajar ilmu pengetahuan dan agama, tapi juga tempat aku menemukan jati diriku. Guru-guruku tidak hanya mengajar rumus atau hafalan ayat, tapi juga menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin. Nilai-nilai itu membuatku yakin bahwa menjadi seorang prajurit bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga tentang kekuatan hati.
Setiap pagi, sebelum masuk kelas, aku membiasakan diri untuk berlari kecil di halaman sekolah. Kadang teman-teman menertawakan, “Raja, ngapain lari pagi-pagi? Kan belum masuk tentara!” Tapi aku hanya tertawa. Bagiku, setiap langkah kecil adalah latihan menuju impian besar. Aku tidak tahu kapan aku akan berhasil, tapi aku tahu, aku harus mulai dari sekarang.
Pelajaran IPA yang kupelajari ternyata juga menumbuhkan sisi lain dalam diriku — rasa ingin tahu tentang teknologi dan sains. Aku terpesona dengan cara komunikasi modern bekerja, bagaimana sinyal bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bagaimana drone terbang dengan perintah dari ribuan kilometer jauhnya. Lalu, sebuah ide muncul di kepalaku: Bagaimana kalau aku mempelajari teknologi dulu, lalu menggunakannya untuk mendukung dunia militer?
Di sinilah aku pertama kali mengenal nama *Telkom University* — sebuah universitas yang terkenal karena keunggulan teknologinya dan disiplinnya yang tinggi. Dalam hati, aku mulai menuliskan dua impian sekaligus: menjadi ahli teknologi, dan tetap setia pada cita-cita awal — bergabung dengan TNI Angkatan Darat.
Mimpi yang Semakin Dekat
Waktu berjalan cepat. Tahun-tahun di madrasah berlalu dengan penuh kenangan: ujian yang menegangkan, doa bersama sebelum lomba, serta bimbingan dari guru-guru yang selalu mengingatkan kami untuk tidak menyerah. Ketika aku duduk di kelas 12 nanti, aku ingin punya satu langkah besar — diterima di Telkom University, jurusan Teknik Telekomunikasi.
Aku tahu itu bukan hal mudah. Aku harus bersaing dengan ribuan siswa lain di seluruh Indonesia. Tapi setiap kali rasa takut datang, aku selalu teringat kata ayahku, “Kalau kamu yakin dan terus berusaha, tidak ada yang mustahil.” Kalimat itu menjadi semacam doa yang menuntunku melewati hari-hari penuh belajar.
Menjejak Bandung: Babak Baru
Beberapa tahun kemudian, mimpiku menjadi nyata. Aku diterima di Telkom University. Aku masih ingat betul hari ketika pengumuman itu muncul di layar laptopku — aku berteriak dan langsung bersujud syukur. Rasanya seperti melihat secercah masa depan terbuka di depan mata.
Bandung menjadi saksi perubahan besar dalam hidupku. Kota itu dingin, tapi penuh semangat muda. Di Telkom University, aku belajar banyak hal: mulai dari jaringan komunikasi, sistem keamanan digital, hingga teknologi satelit. Setiap kali dosen menjelaskan cara kerja komunikasi militer, hatiku selalu berdebar. Aku tahu, ilmu yang kupelajari hari ini akan berguna untuk pengabdian esok hari.
Tentu saja, kehidupan mahasiswa tidak selalu mulus. Ada malam-malam panjang penuh tugas, ada kegagalan dalam ujian, dan ada rindu yang menyesakkan dada saat jauh dari keluarga di Medan. Tapi aku tidak pernah menyerah. Aku ingat betul pepatah yang diajarkan di madrasah: “Barang siapa bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya.” Aku terus berjuang, tidak hanya demi nilai, tapi demi impian masa kecil yang masih menyala.
Aku juga bergabung dalam organisasi kampus yang berhubungan dengan kepemimpinan dan bela negara. Di sanalah aku menemukan teman-teman seperjuangan — anak muda yang juga mencintai tanah airnya. Kami berdiskusi tentang masa depan Indonesia, tentang peran teknologi dalam pertahanan, dan tentang cara anak muda bisa mengabdi dengan caranya masing-masing.
Suatu malam, setelah rapat panjang, aku berdiri sendirian di depan gedung rektorat. Lampu-lampu kota Bandung tampak berkilau dari kejauhan. Aku menatapnya sambil berbisik dalam hati, “Aku akan jadi prajurit masa depan — bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan ilmu.”
Langkah ke Dunia Militer
Setelah lulus dari Telkom University, banyak teman-temanku yang langsung bekerja di perusahaan teknologi ternama. Tapi aku memilih jalan berbeda. Aku mengikuti seleksi untuk menjadi perwira teknis TNI Angkatan Darat. Jalur ini bukan yang mudah — ada tes fisik, psikotes, dan wawancara yang menantang. Tapi aku sudah siap.
Saat tes wawancara, seorang petinggi bertanya padaku, “Kamu lulusan universitas teknologi, kenapa ingin masuk militer?”
Aku tersenyum dan menjawab dengan tegas,
> “Karena di masa depan, kekuatan militer tidak hanya diukur dari senjata, tapi dari teknologi. Saya ingin menjadi bagian dari perubahan itu.”
Mereka terdiam sejenak, lalu mengangguk. Aku tahu, jawabanku bukan sekadar kata-kata. Itu keyakinan yang sudah tertanam sejak aku duduk di bangku madrasah.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman resmi keluar. Namaku ada di daftar peserta yang lolos. Aku menatapnya lama-lama, nyaris tak percaya. Tanganku gemetar, dan air mata tak bisa kutahan. Aku tahu, ini bukan hanya tentang aku, tapi juga tentang doa orang tuaku, guru-guruku, dan kerja keras yang tidak pernah berhenti.
Hidup sebagai Prajurit
Pendidikan militer adalah bab baru dalam hidupku. Bangun sebelum subuh, latihan berat di bawah matahari, dan disiplin yang tak mengenal kata lelah. Tapi aku menikmatinya. Di setiap langkah kaki yang menjejak tanah, aku merasa sedang membangun kekuatan baru — kekuatan jiwa.
Bedanya, aku datang dengan bekal ilmu teknologi. Aku bukan hanya tahu cara menembak atau berbaris, tapi juga cara mengoperasikan sistem komunikasi, memperbaiki perangkat digital, dan merancang strategi berbasis data. Kadang, instruktur memintaku menjelaskan kepada rekan-rekan lain tentang alat komunikasi militer modern. Saat itu, aku tersenyum bangga — ilmu dari Telkom University ternyata benar-benar berguna.
Kini, sepuluh tahun telah berlalu. Aku berdiri di sebuah pos perbatasan, mengenakan seragam hijau dengan baret yang kupasang dengan bangga. Di pundakku tersemat pangkat Letnan Dua. Di hadapanku, bendera merah putih berkibar lembut di bawah sinar matahari pagi. Udara terasa sejuk, tapi dada ini hangat — karena aku sedang hidup dalam mimpi yang dulu hanya ada di kepalaku.
Tugasku kini menjaga sistem komunikasi militer. Aku memastikan setiap sinyal antara pasukan dan markas berjalan tanpa gangguan. Kadang aku harus mendaki bukit membawa perangkat berat, kadang aku duduk semalaman di tenda sambil mengawasi layar komputer. Tapi aku tidak pernah mengeluh. Karena aku tahu, setiap detik yang kujalani adalah bentuk pengabdian untuk negeri.
Refleksi dan Syukur
Ada malam-malam ketika aku duduk sendiri di bawah langit luas. Bintang-bintang berkelip di atas kepala, dan pikiranku melayang ke masa lalu. Aku teringat kelas 10 di MAN 3 Medan, ketika aku pertama kali berani bermimpi besar. Aku teringat perjalanan ke Bandung, malam-malam belajar di Telkom University, dan setiap langkah kecil yang membawaku ke titik ini.
Aku tersenyum. Ternyata, semua yang kulalui punya makna. Setiap kegagalan, setiap doa, setiap usaha — semuanya membentuk diriku hari ini.
Menjadi prajurit bukan sekadar soal kekuatan tubuh, tapi juga kekuatan hati dan pikiran. Aku belajar bahwa keberanian tidak selalu berarti maju di medan perang, tapi juga berani bertahan saat semua terasa sulit. Aku belajar bahwa ilmu tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk bangsa.
Pesan untuk Generasi Muda
Jika aku bisa berbicara kepada diriku yang berusia 16 tahun, aku akan berkata: Jangan takut bermimpi. Jangan takut gagal. Dan jangan pernah berhenti berdoa. Karena semua hal besar selalu dimulai dari langkah kecil dan keyakinan yang besar.
Untuk adik-adik di madrasah, teruslah belajar dengan tekun. Jangan remehkan asal-usulmu. Madrasah bukan penghalang, tapi fondasi kuat untuk masa depanmu. Dunia ini butuh orang-orang yang berilmu dan berakhlak, bukan hanya yang cerdas di kepala tapi juga bersih di hati.
Penutup
Sepuluh tahun mungkin terasa lama, tapi kini aku mengerti — waktu hanyalah alat bagi kita untuk tumbuh. Aku yang dulu hanyalah siswa biasa di MAN 3 Medan, kini telah menjadi bagian dari barisan hijau yang berdiri untuk merah putih. Dari ruang kelas madrasah hingga ruang komando militer, dari buku pelajaran IPA hingga sistem komunikasi satelit, semua adalah bagian dari perjalanan yang sama — perjalanan menuju pengabdian.
Ketika aku menatap bendera itu berkibar, aku tahu satu hal:
Aku mungkin hanya satu orang kecil di antara jutaan rakyat Indonesia, tapi aku akan terus berjuang, karena cinta pada tanah air tidak pernah mengenal kata selesai.
