Nganjuk – Di tangan Suratman (60), tanah sawah itu remuk menjadi debu kelabu yang kering. Tidak ada aroma basah humus yang khas, hanya bau tanah lelah yang dipaksa bekerja terlalu keras. Selama bertahun-tahun, petani bawang merah di Nganjuk ini meyakini satu dogma keliru: semakin banyak pupuk ditebar, semakin melimpah panen didapat. Hasilnya? Tanahnya “sakit”, keras, dan hasil panen justru merosot tajam termakan hama.
“Dulu saya pikir kalau daun kuning, tambahi saja Urea karungan. Ternyata tanah saya malah ‘keracunan’,” gumam Suratman dengan tatapan nanar.
Kisah tanah Suratman adalah alarm bahaya bagi cita-cita kedaulatan pangan nasional. Bagaimana mungkin kita bicara tentang lumbung pangan jika “piringnya”—yakni tanah itu sendiri—sedang retak? Menjawab kegelisahan ini, Pupuk Indonesia hadir dengan wajah berbeda. Bukan lagi sekadar produsen komoditas kimia, melainkan sebagai “Dokter Tanah” yang membawa misi pemulihan.
Laboratorium Berjalan di Tengah Sawah
Pagi itu, sebuah mobil van bertuliskan “Mobil Uji Tanah” milik anak usaha Pupuk Indonesia parkir di pematang. Bukan untuk berjualan, tapi untuk memeriksa ‘kesehatan pasien’. Para agronomis muda dengan sigap mengambil sampel tanah Suratman, meneteskan cairan reagen, dan menunggu perubahan warna.
Ini adalah manifestasi nyata dari sub-tema Penguatan Pelayanan dan Pengawalan untuk Meningkatkan Produktivitas Pertanian. Pupuk Indonesia menyadari bahwa produktivitas tidak lahir dari kuantitas pupuk, melainkan dari presisi.
“Tanah bapak pH-nya terlalu asam, dan jenuh Nitrogen. Kalau ditambah Urea terus, tanaman malah rebah. Bapak butuh pembenah tanah organik dan NPK spesifik,” jelas sang agronomis memberikan ‘resep’.
Momen pencerahan itu mengubah segalanya. Melalui edukasi Pemupukan Berimbang, Pupuk Indonesia mengubah pola pikir petani dari “asal tebar” menjadi “tepat dosis”. Transformasi pelayanan ini krusial. Perusahaan tidak lagi mengejar volume penjualan semata, tetapi mengejar efisiensi biaya usaha tani yang dikeluarkan petani.
Industri Modern yang Ramah Lingkungan
Di sisi hulu, transformasi tak kalah masif terjadi. Mengacu pada sub-tema Transformasi Pupuk Indonesia Wujudkan Industri Pupuk Modern, holding pupuk terbesar di Asia Tenggara ini tengah melakukan dekarbonisasi industri.
Pabrik-pabrik tua direvitalisasi menjadi smart factory yang hemat energi. Inovasi produk pun bergeser ke arah pupuk hayati dan organik yang mampu mengembalikan unsur hara alami tanah. Pupuk Indonesia kini memproduksi varian NPK spesifik lokasi dan komoditas—sebuah terobosan modern di mana pupuk diracik sesuai kebutuhan unik tanah di Sumatera yang berbeda dengan tanah di Jawa.
Langkah ini membuktikan bahwa industri pupuk nasional telah naik kelas. Akuntabilitas industri tidak hanya diukur dari laporan keuangan, tetapi dari seberapa besar ia bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan tempat pangan kita tumbuh.
Panen yang Berdaulat
Enam bulan pasca-kedatangan “Dokter Tanah” itu, senyum Suratman kembali merekah. Bawang merahnya kini umbinya besar, merah merona, dan kokoh. Biaya pupuknya justru turun 20 persen karena ia tak lagi membuang pupuk percuma, namun hasil panennya naik signifikan.
“Ternyata kalau tanahnya sehat, dompet petani juga sehat,” kekehnya.
Apa yang dilakukan Pupuk Indonesia adalah sebuah investasi jangka panjang. Dengan merawat tanah hari ini melalui teknologi modern dan pendampingan intensif, mereka sedang menjaga agar generasi mendatang tetap bisa makan.
Di tengah ancaman krisis iklim global, Pupuk Indonesia telah membuktikan diri sebagai benteng pertahanan pangan. Mereka tidak hanya memproduksi penyubur tanaman, tetapi sedang menyembuhkan Ibu Pertiwi, jengkal demi jengkal, demi pangan yang berdaulat dan berkelanjutan.
